Selasa, 15 Desember 2009
Surat dari Seorang Teman
"Seutas benang itu sesungguhnya hanya
ada dalam pikiran Anda!"
Ada kisah nyata tentang seekor gajah.
Sejak kecil ia sudah dirantai kakinya
dengan seutas rantai sepanjang 4 meter.
Apa yang terjadi ketika rantai itu
diganti dengan seutas benang?
Gajah itu tetap saja berkeliling & tidak
berani melangkah keluar dari area
lingkaran 4 meter tersebut!
Dari kisah ini, pelajaran apa yang
bisa kita ambil?
Maaf, saya tidak bermaksud menyamakan
diri kita dengan seekor gajah. :-)
Namun bisa jadi, kita pun memiliki
'keterbelengguan' dengan seutas tali
yang mengikat diri kita!
Kita tidak berani keluar dari zona yang
dianggap nyaman. Meski sesungguhnya,
kita bisa melakukan banyak hal hebat
dari perkiraan kita!
Mari kita jujur pada diri sendiri,
berapa banyak kesempatan yg sebenarnya
hadir, melintas di depan Andi, namun
Andi tidak mempedulikannya?
Andi mungkin menganggap peluang itu
'terlalu tinggi' untuk Andi, dan
merasa tidak pantas berada disana.
Atau mungkin Andi malah merasa tidak
mampu untuk melakukan hal itu padahal
sama sekali belum pernah mencobanya?
Kita semua tahu, segala hal yang
menurut kita 'begitu hebat', seringkali
tidak selalu seperti yang kita
bayangkan.
Atau hal yang kita anggap sulit,
kadang sebenarnya sangat gampang!
Ada dua kunci dalam hal ini :
1. Andi akan bisa jika Andi berpikir bisa
2. Andi akan gagal jika Andi berpikir gagal
So, jangan menyalahkan siapapun jika
kesuksesan belum menghampiri diri kita.
Sebab, faktor utamanya terletak pada
diri kita sendiri.
Oleh sebab itu, perhatikan dengan
seksama, dan tanya pada diri sendiri,
adakah seutas benang yang telah
membelenggu diri kita selama ini?
Jika ya, maka segeralah untuk putuskan
benang itu!
Cobalah bergerak maju dari lingkaran
yang selama ini kita buat dan telah
membelenggu diri kita sendiri!
Peluang itu sebenarnya selalu hadir
kapan saja. Namun, karena kita selalu
saja menutup mata, telinga, dan pikiran
kita, maka peluang itu akan terlewat
begitu saja!
Jika Andi masih saja ragu untuk
melangkah, cobalah untuk melatihnya
sedikit demi sedikit. Dan jika Andi
sudah yakin, maka segeralah berlari
cepat, keluar dari keterbelengguan
Andi.
Jika sudah seperti ini, maka siapa lagi
yang diuntungkan, jika bukan Andi
sendiri? :-)
Rabu, 25 November 2009
Putusan MA Tak Pengaruhi Ujian Nasional
Rabu, 25 November 2009 19:08 WIB | Peristiwa | Pendidikan/Agama | Dibaca 1620 kali
Semarang (ANTARA News) - Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tak mempengaruhi penyelenggaraan UN pada 2010.
"Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," katanya saat dihubungi dari Semarang, Rabu.
Menurut dia, sesuai dengan amanat PP Nomor 19/2005 tersebut, BSNP berkewajiban untuk menyelenggarakan UN bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, setiap satuan pendidikan, termasuk kalangan perguruan tinggi.
Penyelenggaraan UN 2010 menurut dia, juga didasari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang UN tingkat SMA dan SMP, serta Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD.
Ia mengatakan, sesuai PP Nomor 74/2009 tersebut, UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK.
"Kami memang mengakui dalam penyelenggaraan UN terdapat berbagai tindak kecurangan, namun kami tetap melakukan evaluasi dan perbaikan berkaitan dengan penyelenggaraan UN setiap tahunnya," kata guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.
Berkaitan dengan putusan MA itu, Mungin mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi perkara UN yang diajukan pemerintah, sebab pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan salinan resmi putusan MA tersebut.
Mungin menilai, penyelenggaraan UN secara obyektif, transparan, dan akuntabel tetap diperlukan, sebab hasilnya dapat digunakan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, menentukan kelulusan, dan digunakan dalam seleksi masuk ke perguruan tinggi.
"Namun, UN hanya salah satu indikator penentu kelulusan, sebab masih ada beberapa indikator lain yang menjadi penentu kelulusan selain UN, seperti ujian akhir sekolah (UAS)," kata Mungin.
Perkara itu bermula dari "citizen lawsuit" (gugatan warga negara) yang diajukan Kristiono dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.
Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke MA.
Akhirnya, MA melarang UN yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebab kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA. MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputus pada 14 September 2009.(*)
Rabu, 11 November 2009
Pemerintah Akhirnya Integrasikan UN dengan SNMPTN
Hal itu disampaikan Mendiknas Mohammad Nuh didampingi seluruh jajaran eselon I di lingkungan Depdiknas, dan Rektor Universitas Negri Surabaya yang juga Ketua Panitia SNMPTN Haris Supratno, di Depidknas, akhir pekan lalu.
Dalam kesempatan itu, Ketua SNMPTN Haris Supratno mengatakan, pembuatan soal, pengawasan dan hal-hal lain sudah dilibatkan dalam pengawasan tes masuk, pembuatan soal, juga hal-hak yang kecil lainnya. Dan mulai tahun ini pun PTN sudah dilibatkan dalam proses UN. Dari mulai pemuatan soal, distribusi, pelaksanaan, dan evaluasi. "Dengan pelibatan PTN, diharapkan pada 2010 UN sudah kredibel dan tidak usah tunggu 2012 untuk mengintegrasikan UN dengan SNMPTN," ujarnya.
PTN sudah dilibatkan dalam UN mulai dari penyusunan soal ujian, cetak naskah, distribusi ke sekolah-sekolah, pengawasan ujian hingga scanning lembar jawaban ujian. "Tahun ini UN belum bisa dijadikan syarat masuk PTN," cetus Haris.
Adapun Mendiknas mengungkapkan, baru saja bertemu dengan rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Unair, Unesa, ITS, Unram (universitas Mataram), dan UNY untuk membicarakan masalah ini. Masalah terintegrasinya UN dengan SNMPTN merupakan salah satu isu strategis yang dikemukakan mendiknas baru dalam reformasi pendidikan di kabinet Indonesia Bersatu jilid II.
Haris, yang juga merupakan rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan, hal ini sebenarnya sudah disiapkan sejak 2008 saat mendiknas masih dijabat Bambang Sudibyo. Saat itu, ditargetkan pada 2012 hasil UN sudah bisa diintegrasikan dengan SNMPTN sehingga tidak usah ada ujian lagi untuk masuk PTN, cukup gunakan UN.
Di sisi lain Mendiknas mengungkapkan, program 100 hari yang terdiri dari penyediaan internet massal di 17.500 sekolah, penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, beasiswa PTN bagi 20 ribu siswa setingkat SMA yang berprestasi, dan kurang mampu serta kebijakan khusus bagi guru daerah terpencil.
Selain itu, program yang mesti selesai hingga Januari 2010 adalah penyempurnaan rencana strategis Diknas 2010-2014, pengembangan budaya dan karakter bangsa, pengembangan metodologi belajar mengajar dan membuat roadmap sinergi lembaga pendidikan dengan pengguna lulusan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan. ant/eye By Republika Newsroom
Senin, 09 November 2009 pukul 17:
Guru Bertugas Bangkitkan Anak Didik Bercita-Cita
JAKARTA--Tugas utama seorang guru dengan kemuliaannya adalah mampu memotivasi dan membangkitkan agar anak didik punya cita-cita. Guru diharapkan mampu mendorong anak didik bersikap optimistis. Guru dianggap berprestasi jika siswa-siswa mampu melebihinya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh dihadapan para finalis Lomba Kreasi dan Inovasi Media Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama Tingkat Nasional, Selasa (10/11) di Gedung Depdiknas.
"Anak didik kita itu masa depan kita semua. Oleh karena itu, dia harus kita berikan motivasi dan dorongan-dorongan agar dia punya cita-cita, punya mimpi-mimpi besar. Media (pembelajaran) yang akan kita lombakan sebagai kreasi dan inovasi dari bapak ibu sekalian itu adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ikhtiar untuk meningkatkan kualitas pendiidkan kita," kata Mendiknas.
Tema lomba adalah 'Media Pembelajaran untuk Menciptakan Proses Pembelajaran yang Efektif, Efisien, dan Mengembangkan Kemandirian dalam Belajar Para Siswa'. Lomba bertujuan untuk memotivasi guru SMP seluruh Indonesia untuk berkreasi, berinovasi, dan menggunakan media untuk pembelajaran yang efektif, efisien, interaktif, menyenangkan, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa kreativitas dan kemandirian peserta didik di dalam belajar.
Panitia penyelenggara lomba telah menetapkan 198 karya yang lolos ke tahap peniliaian babak II dari 307 karya yang diterima panitia dari seluruh Indonesia. Mendiknas menyatakan, bagi para pemenang akan mendapatkan penghargaan yaitu dibantu untuk mengurus hak cipta hasil karyanya. "Para pemenang kita berikan penghargaan. Salah satu diantaranya kita bantu mendapatkan hak cipta, sehingga hasil karya ibu dan bapak ada pengakuan," kata Mendiknas.
Menurut Mendiknas media pembelajaran dapat diibaratkan sebagai jembatan. Mendiknas menjelaskan, jika guru sudah menyiapkan informasi-informasi yang luar biasa, tetapi karena medianya tidak bagus maka informasi akan hilang dan tidak sampai ke siswa atau kalau sampai sudah berkurang. "Sehingga media (pembelajaran) ini sangat penting," katanya.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto melaporkan, karya yang dilombakan merupakan hasil penelitian termasuk penelitian tindakan kelas yang berfokus pada pengembangan atau penciptaan inovasi dan pemanfaatan media pembalajaran baik media sederhana atau multimedia.
Suyanto menyebutkan, media pembelajaran ini digunakan untuk pembelajaran mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS dan PKN. "Media pembelajaran yang dimaksud telah digunakan dalam proses pembelajaran dasar empiris, memfasilitasi pembelajaran yang efektif, efisien, interaktif, dan menyenangkan, " tegasnya. ant/eye
By Republika Newsroom
Selasa, 10 November 2009 pukul 20:44:00
Selasa, 10 November 2009
SNMPTN Akan Dihapus
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan dihapus oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Rencananya akan diganti dengan sistem nilai dari hasil ujian di tingkat SMA.
Saat ini berbagai persiapan dilakukan oleh Depdiknas yaitu dengan meningkatkan kerjasama perguruan tinggi dengan sekolah. "Kredibilitas ujian nasional masih perlu ditingkatkan. Sehingga perguruan tinggi dan sekolah harus bisa kerjasama untuk proses integrasi ujian nasional. Kami menuntut tahun ini integrasi itu selesai sehingga SNMPTN perlahan bisa dihapus," kata Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh.
M Nuh mengatakan itu di sela-sela Pembukaan Lomba Citra Elektronik Nasional XIV di Balai Pemuda Jalan Pemuda, Surabaya, Senin (9/11). Menurut Nuh, penghapusan SNMPTN untuk memperpendek rantai siswa masuk perguruan tinggi. Tidak menutupi kemungkinan soal-soal masuk ujian nasional merupakan perpaduan dari pakar perguruan tinggi dan akademisi di sekolah.
"Cuma saya tidak mau ada asumsi SMNPTN dihapus. Tapi kalau kualitas ujian nasional semuanya bisa jadi berubah. Kenapa ujian SD bisa digunakan SMP dan hasil SMP bisa digunakan SMA sedang hasil ujian SMA juga bisa digunakan masuk PT," tandasnya. (dtc)
Senin, 09 November 2009
UN Masa Depan
Makin tinggi: Hasil UN harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikanBerbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat 20-24 April lalu dilaksanakan di tengah riuhnya perpolitikan negara dalam rangka penghitungan suara pasca-pemilu legislatif 9 April 2009. Sementara UN tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah dasar (SD) sederajat diselenggarakan Mei 2009, di tengah suhu politik yang sedang memanas menjelang pemilihan presiden 8 Juli 2009.
Tapi di tengah susana demikian, polemik atas kebijakan UN ini masih tetap terjadi antara pihak yang pro dan kontra. UN memang sangat vital buat pelajar maupun sekolah. Kelulusan UN merupakan salah satu penentu masa depan pelajar. Sementara bagi sekolah, persentase kelulusan siswa merupakan tolok ukur keberhasilan sekolah tersebut dalam mendidik. Dengan motivasi itu, pelaksanaan UN tahun ini juga masih tetap diwarnai beberapa kecurangan seperti kebocoran soal. Tidak jauh seperti tahun sebelumnya, rata-rata kecurangan tersebut dilakukan secara kolektif dan terencana. Sekadar contoh, di Kabupaten Bengkulu Selatan, 16 orang kepala sekolah diberitakan diperiksa kepolisian karena terlibat dalam kasus kecurangan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, UN sudah diselenggarakan. Tentu tidak bijaksana jika berlarut-larut dalam polemik setuju atau tidak setuju dan jujur atau tidak jujur. Membicarakan UN sekarang ini adalah lebih baik membicarakan bagaimana membuat UN tahun ini sebagai pembelajaran untuk menghadapi ujian tahun depan.
Seperti diketahui, sejak diberlakukannya UN, grafik standar kelulusan ada perubahan walaupun berfluktuatif setiap tahunnya. Dimana standar kelulusan pada tahun 2002 (3,01 ), 2003 (3,01), 2004 (4,01), 2005 (4,01), 2006 (4,50), 2007 (5,00), 2008 (5,25), dan tahun 2009 sebesar 5,50. Khusus untuk tahun ini, standar ini mengartikan bahwa hasil UN harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Sedangkan untuk SMK, nilai uji kompetensi keahlian minimum 7,00 dengan nilai teori kejuruan minimum 5. Nilai uji kompetensi keahlian digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN.
Tujuan menaikkan standar kelulusan itu setiap tahunnya, yakni untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, sejauh ini masih mendapat pembenaran. Terbukti, seperti dikatakan Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas Burhanudin Tolla pertengahan April lalu, langkah peningkatan standar kelulusan UN ini berdasarkan hasil evaluasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 2004 rata-rata nilai UN hanya 5,5. Namun pada 2008 lalu hasilnya meningkat drastis menjadi 7,3. “Jadi terbukti bahwa UN mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Semangat guru mengajar juga meningkat,’’ katanya.
Memperhatikan fluktuasi perubahan standar kelulusan yang terus dinaikkan setiap tahun itu, diyakini, seperti yang memang sudah pernah diwacanakan pejabat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebelumnya, tahun depan juga diperkirakan standar kelulusan akan terus dinaikkan hingga mendekati standar kelulusan seperti yang berlaku di dunia internaional. Oleh karena itu, ke depan, sesungguhnya adalah lebih bijaksana jika pelajarlah yang dipersiapkan mengikuti ujian sehingga mereka berhasil melewati batas kelulusan minimal yang ditetapkan Depdiknas, sebagai langkah awal untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.
Namun di luar polemik setuju atau tidak setuju, pendapat yang mengusulkan agar UN dibuat sebagai salah satu metode evaluasi pembelajaran di samping metode pembelajaran yang lain, kiranya perlu dipertimbangkan dan diskusi lebih lanjut. Sebagaimana pendapat pengamat pendidikan Arif Rachman, hak guru dan sekolah untuk mengevaluasi dan menentukan kelulusan siswa hendaknya tetap diberikan. Satu contoh, jika ada siswa memperoleh nilai kurang nol koma sekian dari standar kelulusan UN, padahal selama tiga tahun siswa itu berprestasi baik, guru atau sekolah sebaiknya punya hak meluluskannya.
Di samping topik tersebut, wacana membuat hasil UN SMA sederajat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri juga perlu didiskusikan lebih lanjut Sebab menurut pendapat beberapa pihak, jika hal itu dilaksanakan, berarti ada kerancuan berpikir tentang makna evaluasi. Sebab, seleksi masuk perguruan tinggi memiliki maksud dan tujuan yang berbeda dengan UN.
UN merupakan tes untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran, sementara tes masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi merupakan tes untuk mengukur kemampuan calon menjalani proses pendidikan. Jadi usaha untuk menggabungkan keduanya dianggap tidak lagi berangkat dari makna dan jati diri tes, tetapi bagian dari upaya pemenangan perang atas nama kekuasaan. Lebih lanjut disebutkan, mempertemukan kedua tes dalam satu paket akan mengabaikan karakter dan prisip pendidikan yang selama ini berfokus pada anak didik sebagai objek.Semoga dengan pelaksanaan UN tahun ini, kita semakin bijaksana dan anak didik semakin giat belajar. RB (Berita Indonesia 66)
Selasa, 27 Oktober 2009
Selasa, 13 Oktober 2009
Kamis, 03 September 2009
KETERTINGGALAN PENDIDIKAN DUNIA ISLAM
Mengapa dunia muslim tertinggal pendidikannya? Jawabannya: FILSAFAT! Ya, karena dunia muslim pada umumnya menabukan filsafat, induknya ilmu pengetahuan. Lebih-lebih setelah aliran Wahhabi, yang secara teologis antirasionalisme ini, me-mainstream sebagai model Islam di dunia.
Riset-riset mutakhir barat saat ini tak terlepas dari jasa positivisme August Comte, yang memadukan filsafat rasionalisme cartesian dengan filsafat empirisme. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan riset, 5w1h questions, merupakan salah satu bagian pertanyaan-pertanyaan mendasar dari filsafat logika. Belum lagi jika kita bicara soal cabang-cabang ilmu yang lain, seperti psikologi, sosiologi, ilmu politik, hukum dll, semua pasti beralaskan filsafat.
Jangankan itu, mari kita lihat dari kacamata geopolitik. Ideologi yang berkembang di dunia ini berakar kuat pada filsafat. Ideologi kapitalisme, misalnya, dipengaruhi oleh Filsafat Kebebasan Manusia ala John Locke. Sementara Komunisme diawali dari Filsafat Materialisme Dialektika.
Apakah sejarah peradaban Islam tidak pernah (mau) mengenal filsafat? Nay! Zaman keemasan Islam dulu tak terlepas dari peran filsafat dalam meletakkan basis keilmuwan. Sebut saja Ibu Sina (dokter, ahli kimia, geologis, ahli astronomi, dll), Al-Farabi (ahli matematika, musisi, sosiolog, dll) dan Al-Kindi (ahli matematika, psikologi, dokter, musisi) yang juga filsuf. Saking pentingnya filsafat, sampai-sampai Ibnu Thufail asal Andalusia menulis novel “Hayy ibn Yaqdzan, yang menekankan pentingnya akal untuk “mencari” Tuhan.
Tapi kita tak perlu berkecil hati soal ini. Di belahan Islam lain, ada sekelompok “minoritas kreatif” yang tradisi filsafatnya juga kuat. Ya, dialah Iran. Sebut saja di antaranya Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari, Muhammad Baqr ash-Shadr, bahkan sang revolusionis Ayatullah Khomeini (bahkan termasuk Ibnu Sina!). Karena filsafatnya kuat, maka tradisi keilmuannya pun juga maju. Dengan demikian, tak heran jika pendidikan di Iran juga mulai berkembang pesat.
Kuatnya tradisi keilmuan dan berkualitas karya-karya di sana, sampai-sampai membuat barat dan orientalis tertarik untuk mempelajarinya. Sepasang suami istri William Chittick dan Sachiko Murata, misalnya, termasuk di antaranya yang tertarik mempelajari filsafat di Negeri Mullah ini.
Soal fasilitas pendidikan bagaimana? Di Iran, anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu diberikan fasilitas pendidikan, antara lain bebas biaya SPP dan printil-printil lainnya serta diberikan buku-buku gratis. Walhasil, anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke bawah justru yang rata-rata berprestasi.
Bagaimana dengan tradisi pengajaran di sana? Mari kita tengok ke salah satu “pesantren tradisional” bernama Hauzah ‘Ilmiyyah al-Moqaddesah di kota Qom. “Yang paling berkesan belajar di Iran adalah perilaku ulama-ulama yang ada di Qom, yang begitu baik menghargai pelajar-pelajar. Tidak merasa lebih tinggi atau pintar. Mereka benar-benar memahami Islam dengan baik dari perilakunya,” kata Musa Kadzim Siraj, alumnus Hauzah asal Madura ini.
Bagaimana soal infrastrukturnya? Di ibukota Iran, Tehran, ada perpustakaan dengan koleksi buku terbanyak di dunia, yaitu berjumlah lebih dari 9 juta buku. Saking berharganya ilmu pengetahuan bagi mereka, sampai-sampai rak-rak bukunya bisa masuk ke dalam bunker secara otomatis jika terjadi sesuatu. Ya, belajar dari zaman kemunduran Islam dulu, ketika karya-karya besar ilmuwan muslim dibakar. Lagi, beberapa hari yang lalu, Iran juga mengirimkan Satelit Omid, serta sesumbar akan mengirimkan astronot pada 2021.
Kemajuan pendidikan tak terlepas dari tradisi keilmuan yang baik. Sementara tradisi keilmuan yang baik sangat bergantung pada filsafat. Jadi, kenapa kita tidak mulai berfilsafat?***(DOONUKUNEKE)
ISLAM DI PAPUA, SEJARAH YANG TERLUPAKAN
Islam masuk lebih awal sebelum agama lainnya di Papua. Namun, banyak upaya pengaburan, seolah-olah, Papua adalah pulau Kristen. Bagaimana sejarahnya?
Upaya-upaya pengkaburan dan penghapusan sejarah dakwah Islam berlangsung dengan cara sistematis di seantero negeri ini. Setelah Sumetera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku diklaim sebagai kawasan Kristen, dengan berbagai potensi menariknya, Papua merupakan jualan terlaris saat ini. Papua diklaim milik Kristen!
Ironis, karena hal itu mengaburkan fakta dan data sebenarnya di mana Islam telah hadir berperan nyata jauh sebelum kedatangan mereka (agama Kristen Missionaris).
Berikut catatan Ali Atwa, wartawan Majalah Suara Hidayatullah dan juga penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)” tentang Islam di Bumi Cenderawasih bagian pertama:
Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa kedatangan Islam di tanah Papua, sesungguhnya sudah sanggat lama. Islam datang ke sana melalui jalur-jalur perdagangan sebagaimana di kawasan lain di nusantara.
Sayangnya hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal itu terjadi. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, termasuk yang dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan di Jayapura pada tahun 1997, belum menemukan kesepakatan itu. Namun yang pasti, jauh sebelum para misionaris menginjakkan kakinya di kawasan ini, berdasarkan data otentik yang diketemukan saat ini menunjukkan bahwa muballigh-muballigh Islam telah lebih dahulu berada di sana. Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara.
Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.
Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:
"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".
"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.
Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”, setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak.
Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.
Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran
Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.
....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana
Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.
Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.
Kedatangan Orang Islam Pertama
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.
Bahkan keberadaan Islam Bacan di Maluku sejak tahun 1520 M dan telah menguasai beberapa daerah di Papua pada abad XVI telah tercatat dalam sejarah. Sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati pada abad XVI telah mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Melalui pengaruh Sultan Bacan inilah maka sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau tadi memeluk agama Islam, khususnya yang di wilayah pesisir. Sementara yang dipedalaman masih tetap menganut faham animisme.
Tentang masuk dan berkembangnya syi'ar Islam di daerah Papua, lebih lanjut Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat [mungkin semenanjung Onin] oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."
Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua).” (Hidayatullah)
Selasa, 01 September 2009
PAPUA KAYA SITUS PURBAKALA
Senin, 31 Agustus 2009
Ibuku, Ibuku, ibuku
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kita dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.
Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.
Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.
(Kahlil Gibran)
Senin, 24 Agustus 2009
Karakter Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Dalam pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) diharapkan ada ciri-ciri yang semakin menguat sebagai pembeda dari sekolah lain. Ciri-ciri tersebut meliputi faktor fisik, intelektual, sosial dan spritual.
Penerapan keempat faktor tersebut dalam kurikulum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Faktor Fisik
Siswa berdaya saing yang bagus karena memiliki disiplin dan motivasi yang baik.
Siswa diharapkan memiliki standar disiplin yang berlaku internasional. Dalam tahap pembelajaran siswa diharapkan lebih menghargai proses daripada hasil. Dalam proses tersebut dituntut untuk mengerjakan sendiri setiap tugas yang diberikan, menghargai waktu, taat pada peraturan sekolah dan negara, menjadi contoh bagi masyarakat disekitarnya dalam hal ketaatan terhadap peraturan. Siswa juga diharapkan bervisi jauh ke depan. Mampu melihat diri sendiri dan masyarakat serta membandingkannya dengan dunia internasional agar tercapai kemajuan yang signifikan.
Faktor Intelektual
Menggunakan standar yang lebih tinggi dari SI dan SKL yang diperkaya dgn adaptasi dan/atau adopsi kurikulum negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan negara maju lain.
- Mengadaptasi dan/atau mengadopsi (menerapkan) isi, metode, pendekatan, penilaian dan hasil pembelajaran secara komprehensif sesuai dengan standar Internasional yang diacu.
- Meningkatkan kreativitas guru untuk menggunakan multi metode (termasuk riset, penulisan karya ilmiah, pembelajaran dengan praktek dan inovasi).
- Mendorong siswa untuk menggali keterkaitan antara etika, sains, estetika, dan teknolgi.
- Mendorong siswa untuk terlibat dalam kegiatan interaksi antara kurikulum dengan kehidupan nyata (seperti pelayanan masyarakat, kepedulian lingkungan, pendidikan kesehatan dan sosial).
- Mendorong dan memfasilitasi siswa melakukan riset dan penulisan karya ilmiah.
Mengembangkan kemampuan komunikasi siswa dengan sekurang-kurangnya satu bahasa asing
- Membentuk komunitas dwi-bahasa (Bilingual Community) dalam sekolah.
- Mendorong siswa agar mampu mengkomunikasikan gagasan, baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa ibu secara lisan dan tulisan.
Menerapkan bidang ICT sebagai daya saing di dunia internasional.
- Mendorong siswa agar mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah.
- Memberikan fasilitas yang mendukung untuk dapat menerapkan ICT dengan baik.
- Menciptakan situasi yang ”melek” ICT di sekolah.
- penyediaan perangkat lunak (sofware) dan perangkat keras (hardware) yang memadai untuk menerapkan ICT di sekolah.
Menggunakan sistem satuan kredit semester (SKS)
- Menggunakan sistem paket dan sistem SKS di SMP jika sekolah telah menyiapkan semua sarana dan prasarana pendukung.
- Menerapkan sistem SKS di SMA.
Faktor Sosial
Mengembangkan sikap peduli terhadap lingkungan alam, sosial, dan budaya Indonesia
- Memberikan pemahaman kepada siswa tentang konservasi lingkungan hidup dan menumbuhkan tanggung jawab siswa terhadap lingkungannya (misalnya menggunakan bahan-bahan daur ulang, menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya).
- Penyediaan sarana untuk menunjang sikap peduli terhadap lingkungan alam (mis: tong sampah yang berbeda untuk sampah basah dan kering, menyediakan lahan untuk bercocok tanam).
- Mendorong siswa mengerti mengenai masalah-masalah sosial dan berperan aktif dalam memecahkannya.
- Penyediaan pelajaran dan sarana belajar untuk tempat pengembangan minat terhadap budaya Indonesia (musik, tari-tarian, kuliner, kerajinan tangan/ketrampilan khas Indonesia, dll).
Menyiapkan siswa menjadi warga dunia yang bangga terhadap budaya bangsanya, mampu berpikir kritis dan holistik, memecahkan masalah, mandiri serta dapat berkerja sama dengan orang lain
- Mendorong siswa agar mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
- Membiasakan siswa untuk berdiskusi agar bersedia menerima perbedaan pendapat dan bekerja sama dengan orang lain.
- Mendorong siswa agar mampu mandiri dan dapat menjalin kerja sama baik dengan orang lain maupun bangsa lain
- Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kebudayaan baik bersifat nasional maupun internasional.
- Mendorong siswa agar dapat mengapresiasi karya budaya bangsa Indonesia dan bangsa lainnya.
Faktor Spiritual
Mengembangkan siswa menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, dan menjadi warga negara yang demokratis
- Menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran.
- Penyediaan sarana dan media bagi siswa untuk mengutarakan pendapatnya sebagai warga sekolah dan warga negara yang demokratis dan menghargai pendapat orang lain.
- Membimbing siswa melakukan cara belajar yang benar.
- (Learning How to Learn). Memberikan pengenalan nilai-nilai yang bersifal universal.
Tags: bilingual community, dwi-bahasa, ict, kreativitas guru, melek ict, OECD, Organization for Economic Cooperation and Development, sarana dan prasarana sekolah, sarana sekolah, satuan kredit semester, sbi, sekolah bertaraf internasional, sistem sks, sks, sks sma, teknologi sekolah
Rabu, 12 Agustus 2009
Selasa, 04 Agustus 2009
Sekolah Bertaraf Internasional, untuk Apa dan Siapa?
RSBI
SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Rumusnya adalah :
SBI = SNP + X
SNP meliputi kompetensi,
1. lulusan
2. isi
3. proses
4. pendidik dan tenaga kependidikan
5. sarana dan prasarana
6. dana
7. pengelolaan
8. penilaian
X adalah penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.
Komentar saya:
Satu
“Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.”
Cambridge: saya kurang tahu karena belum pernah ada pengalaman. Teman mengatakan baik, tetapi saya belum memeriksa.
Toefl: Toefl yang mana yang dimaksudkan dan kenapa memilih Toefl? Kalau Toefl yang lama (Paper-Based) lebih baik pilih IELTS. (Dijelaskan lebih lengkap di bawah).
ISO: oke, standar international. Saya baru tahu ada ISO untuk sekolah.
UNESCO: Hmm. Unesco punya tujuan apa di dunia ini? Apa sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa ini? Apa sesuai dengan agama Islam (mayoritas dari penduduk)?
Dua
“Visi: Terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”
Bagi murid tertentu. Hanya buat anak yang lulus proses seleksi. Sisa dari murid (mayoritas) diabaikan.
Tiga
“MISI = Mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.”
Buat anak tertentu, bukan semua. Bukannya anak ini bersaing secara national juga? Mereka akan menjadi lebih pintar dari tetangga (dengan bantuan dari pemerintah) dan akan mengalakan orang lain pada saat berjuang untuk pekerjaan yang sama di dalam negeri. Berarti Pemerintah akan menentukan “siapa” yang bakalan menjadi sukses (karena anak pilihan diberikan bantuan sebanyak mungkin, dengan uang pajak anda, untuk menjadi lebih pintar dari anak tetangganya, yang juga bayar pajak).
Empat
“SBI menggunakan bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (ICT) (p.6)”
Kualitas bahasa Inggris sebelum masuk atau ditentukan? Lewat Toefl? Toefl yang lama (Paper-Based) atau yang baru?
Jadi harus pintar bahasa sebelum masuk. Siapa bilang lulusan Toefl itu pintar menggunakan bahasa Inggris? Mayoritas dari murid Toefl saya (saat mengajar di kursus bahasa Inggris) hanya mampu masuk kelas Basic atau Intermediate kalau masuk kelas regular. Mereka hanya mengikuti Toefl untuk dapat nilai Toefl setinggi mungkin biar bisa daftar kuliah. Kemampuan menggunakan bahasa tidak bisa ditentukan lewat Paper-Based Toefl
Tujuan sekolah ini berubah dari “membuat anak pintar” menjadi “hanya menerima anak pintar yang akan menjadi lebih pintar dengan mudah setelah diajar”.
Mungkin ada anak yang akan menjadi pintar sekali dalam bahasa Inggris kalau ada kesempatan untuk belajar. Tetapi karena tidak sanggup bayar kursus di EF atau ILP, dia tidak bisa berbahasa Inggris saat ini, dan karena itu akan ditolak masuk program SBI ini.
Lima
“STANDAR OUTPUT = Lulusan SBI memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang canggih serta kemampuan berkomunikasi secara global. Mampu menerapkan nilai-nilai (religi, ekonomi, seni, solidaritas, dan teknologi mutakhir dan canggih), norma-norma dan etika global untuk bekerja sama lintas budaya dan bangsa.”
Nilai2 global = nilai religi global, nilai ekonomi global, nilai seni global, norma2 global, etika global untuk bekerja “lintas budaya dan bangsa”
Contoh:
Nilai religi global: semua agama sama. Kalau anak mau pindah agama dari Islam menjad Kristen, tidak boleh dikritik atau dicegah. Hak dia. Orang tua harus terima! Kalau tidak, melanggar HAM anak.
Nilai ekonomi global: kapitalisme di atas segala2nya. Kalau pabrik rugi sedikit, dan harus mem-PHK ribuan orang untuk menjaga profit share bagi investor, lakukan saja. Tidak usah memikirkan dampak sosial. Itu urusan orang lain.
Globalization adalah benar, dan semua pasar harus terbuka. (Tetapi jangan coba menjual ke Amerika Serikat. Hanya sebagian dari pasarnya terbuka, sisanya masih dilindungi dari persaingan international (misalnya, agriculture, steel, textile, pharmaceuticals, car manufacturing, dll.). Intinya, semua negara, selain dari yang berkuasa, harus membuka pasarnya untuk perdagangan bebas. Sosialisme atau kepedulian sosial bukan bagian dari ekonomi.
Nilai seni global: telanjang bulat (kaya Anjasmara menjadi Nabi Adam AS.) adalah seni. Tidak boleh dikritik. Fotografer Spencer Tunik membuat foto dengan ratusan sampai ribuan orang telanjang bulat di tempat umum (seperti taman kota) di berbagai negara. (Gallery: http://www.i-20.com/artist.php?artist_id=19 ). Ini adalah seni. Jangan mengritik! Anak anda akan belajar tentang nilai seni global ini dan barangkali akan mengundang Spencer ke Jakarta.
Norma2 global: Bercerai, normal. Hidup dengan “pasangan” dan membesarkan anak tanpa harus menikah, normal. Mencoba sedikit narcoba, normal. Minum alcohol (tidak sampai mabuk), normal. Punya banyak teman yang homo, normal. Menjadi Pekerja Seks Komersial, normal (bahkan di Australia membayar pajak!). Menjadi donor sperma, normal. Aborsi, normal. (Di beberapa negara, bila anak remaja ingin lakukan aborsi, dokter wajib layani dan dilarang memberitahu orang tua dari anak itu). Tidak peduli pada orang tua, normal.
Etika global: Ketika anda memimpin delegasi AS ke Cina untuk membuat Perjanjian Perdanganan, jangan membahas Pelanggaran HAM. Ketika ada keributan di Papua, menegor Indonesia tentang HAM (karena perdagangan Indonesia dengan AS tidak begitu penting). Membunuh satu orang Amerika merupakan tindakan kriminal terbesar di dunia. Menjatuhkan bom di atas sebuah kota dan membunuh 600.000 orang yang tidak berdosa, tidak menjadi soal. Dan jumlah orang yang dibunuh AS tidak perlu dihitung secara terinci (perkiraan saja juga tidak perlu diterima). Yang penting, jangan sampai manusia terbaik di dunia ini (warga AS) diancam, diculik, disiksa, atau dibunuh. Kalau warga negara lain, no problem. Kalau AS menyiksa tahanan, disebut “interogasi”. Bila negara lain melakukannya, disebut “penyiksaan”. Bila AS menahan orang tanpa disidang untuk bertahun-tahun, mereka adalah “enemy combatant”. Bila negara lain melakukannya, mereka adalah “tahanan politik” yang harus segera dibebaskan.
Tujuan? Apa tujuannya kerukunan, kesamaan, dan sikap pluralisme dan liberalisme di seluruh dunia? Negara anda dan nilai-nilai budaya anda tidak lebih benar dari yang lain. Semuanya sama-sama benar. Tetapi yang sesungguhnya “benar” adalah apa yang sudah ditentukan dan menjadi biasa di bangsa2 barat (mantan penjajah dan pengusasa dunia) dan anda harus ikut mendukung apa saja yang sudah ditentukan sebagai “kebenaran”. Kalau anda berbeda pendapat, maka anda harus belajar lebih banyak supaya bisa rukun (baca: nurut).
Apakah semua ini termasuk yang diinginkan buat anak Indonesia? Setelah diajarkan “norma-norma global” ini, bukannya mereka akan mulai bersikap seperti orang barat yang sekuler dan kafir?
Enam
“STANDAR PROSES = A) Pro-perubahan, B) Menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi”
Dalam semua bidang? Temasuk agama? Bahasa?
Tujuh
“STANDAR INPUT: A) INTAKE = diseleksi ketat, memiliki potensi kecerdasan unggul, yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dan berbakat luar biasa”
Deseleksi ketat? Apakah ini supaya mudah berhasil? Kalau dimulai dengan anak yang paling pintar di seluruh nusantara, lalu anak itu berhasil, apakah karena program SBI atau apakah karena mereka akan berhasil dengan sekolah apapun?
Siapa yang bisa menentukan anak yang “memiliki potensi kecerdasan unggul” secara massal dan cepat? Dari mana ketahuan memilki potensi ini? Ditentukan dengan tes apa? Kalau ada anak yang agak bego saat dites, tapi setelah dididik menjadi pintar sekali, bagaimana? Kenapa dia tidak berhak dididik dengan sebaik mungkin juga?
Pengalaman Pribadi Teman Saya: Ada seorang teman yang kumpulkan teman2nya untuk santuni beberapa anak. Ibu2 itu dengan sengaja mengambil anak yang nilainya kurang bagus (karena biasannya orang memilih anak yang nilainya tinggi, sehingga yang lain tidak mendapat kesempatan). Setelah disantuni beberapa bulan, nilai semua anak itu meningkat. Ternyata, nilai tes mereka selalu rendah karena mereka jualan setelah sekolah, tidak punya buku atau pensil di rumah dsb. Setelah mendapat bantuan nyata, mereka bisa belajar dengan benar di rumah juga dan nilai mereka meningkat.
SBI hanya memilih anak yang “memiliki potensi kecerdasan unggul”!!! Yang lain, biarkan saja!
Delapan
INSTRUMENTAL INPUT: A) Kurikulum Plus X, B) Guru memiliki kompetensi professional (penguasaan mata pelajaran), pedagogic, kepribadian dan social bertaraf internasional yang ditunjukkan oleh penguasaan bahasa Inggris. Mampu menggunakan ICT mutakhir dan canggih (laptop, LCD, dan VCD).
Dapat guru hebat ini dari mana? Dibutuhkan ribuan dalam waktu singkat. Profesional = menguasaikan mata pelajaran sesuai dengan standar internasional. Apa ada ribuan guru seperti itu sekarang? Atau perlu dilatih? Oleh siapa? Di mana? Untuk berapa lama? Dan apakah guru ini akan digaji selama mengikuti latihan?
Kepribadian dan social bertaraf internasional? Kata Jusuf Kalla, guru Indonesia tidak dapat dipercayai karena mereka akan luluskan semua anak. Berarti etika profesional mereka rusak. Siapa yang akan memperbaikinya?
Bahasa Inggris? Siapa yang akan melatihkan guru ini untuk 1-2 tahun sehingga sanggup mengajar dalam bahasa Inggris? Dibutuhkan ratusan trainer untuk mengajar para guru bahasa Inggris. Di mana ratusan trainer itu?
Sembilan
Catatan : Pada lampiran 2 Standar guru SBI haruslah mampu mengajar dalam bahasa Inggris secara efektif (TOEFL > 500, Kepala Sekolah TOEFL >500, Pustakawan TOEFL > 450, Laboran TOEFL > 400, Kepala TU harus S-1 dan TOEFL> 450
Toefl yang mana yang dimaksudkan? Yang disebut “Institutional Test” atau “Paper-Based Test” yang lama? Bentuknya, ada tiga ujian dan semuanya multiple choice. Orang yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik (tingkat Basic 2 – Basic 3) bisa mendapat 500-550 di tes ini. Sebagai mantan guru Toefl, tugas saya bukan untuk mengajarkan bahasa Inggris akademik, melainkan mengajarkan trik-triknya supaya murid yang awam bisa mendapat nilai 500 untuk daftar kuliah di UI dll.
Atau tes yang baru yang dimaksudkan: IBT (Internet Based Test) yang dikerjakan online? Ini jauh lebih sulit daripada yang paper based. Waktu saya mengikuti training untuk mengenal tes baru ini, kami (para guru Toefl) berdebat selama 20 minit untuk menjawab satu pertanyaan karena begitu sulit. Kalau kemampuan para guru tidak advanced (mendekati Native Speaker), akan sulit sekali untuk lulus IBT dengan nilai yang tinggi. Akan dibutuhkan waktu 1-2 tahun persiapan untuk lulus dari ujian ini.
Sepuluh
“Lab.Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa, dan IPS”
Lab Bahasa ketinggalan zaman. Tidak ada yang gunakan di sekolah Australia dan Selandia Baru. Setahu saya, lebih banyak negara yang tidak menggunakannya lagi daripada yang menggunakannya. Lab bahasa terlalu terbatas dan bagi anak sekolah, jauh lebih bermanfaat menggunkan pelajaran bahasa yang komunikatif dengan kerja kelompok, berpasangan, diskusi, berdebat, dsb.
Sebelas
“KEBIJAKAN PENGEMBANGAN: 1. Ekualitas dan aksesibilitas : Siswa miskin tapi pandai harus diterima dengan subsidi silang”
Ekualitas buat yang sangat pintar saja. Yang dianggap pintar biasa saja (karena jualan koran sampai jam 10 malam biar ada uang sekolah) tidak mendapat kesempatan. Ini ekualitas apa?
Duabelas
“1) SBI meningkatkan mutu input, proses, dan outputnya, 2)Tatakelola yang baik (good governance) : partisipatif, transparan, akuntabel, professional, demokratis, tanggungjawab, layanan prima, tidak KKN, ada kepastian hukum, ada kepastian jaminan mutu”
Ini sebelum atau sesudah ada petugas pemerintah yang “menghilangkan” sebgaian dari dananya untuk kepentingan sendiri? Ingat yang ditulis di paling atas: SBI adalah program baru dari sebuah kaum yang “menghilangkan” (baca: MENCURI) Rp 4,6 TRILLION dari anggaran pendidikan tahun 2006!!!
Tetapi karena dana masuk program SBI (daripada umum), tidak akan hilang? Semua orang di Diknas dan Propinsi sudah bertaubat dan tidak akan “merampok” anak SBI demi kepentingan diri sendiri? Hanya anak di Sekolah Negeri biasa yang akan “dirampok” terus setiap tahun?
(Malu deh kalau uang untuk beli laptop bagi anak SBI diselewengkan. Kalau uang untuk atap kelas baru di SDN, no problem deh!)
Tigabelas
STRATEGI IMPLEMENTASI: Pelaksanaan SBI harus dimulai dari kondisi nyata di Indonesia..
Maksudnya? Harus dimulai dari gedung yang atapnya runtuh, lapangan rusak berat, tembok banyak retak, tidak ada perpustakaan di sekolah, guru sering bolos karena punya 2 pekerjaan lain supaya bisa mendapat nafkah hidup yang cukup, dan seterusnya. Inilah “kondisi nyata” yang dimaksudkan?
Berarti harus ada berbagai macam proyek untuk memperbaiki semuanya. Atau hanya sekolah yang sudah dalam kondisi bagus yang akan digunakan? Sekolah yang seperti di atas, biarkan saja dalam keadaan rusak?
Empatbelas
Perintisan SBI harus berdasarkan pada data-data actual dan factual.
Siapa yang akan mengumpulkan data-data ini? Orang yang sama yang menghilangkan 4,6 TRILLION dari anggaran pendidikan tahun 2006? Tetapi sekarang mereka akan mampu mengumpulkan data yang akurat? Apalagi kalau data itu menunjukkan bahwa program mereka gagal dan ada dana yang “hilang”? Tiba-tiba mereka akan menjadi orang yang bisa menghitung secara akurat dan jujur? Tetapi penggunaan dana anggaran tahun 2006 tidak bisa dihitung secara akurat?
Limabelas
STRATEGI PEMBIAYAAN
Pemerintah Pusat = 50 %
Pemerintah Propinsi = 30 %
Pemerintah Kota/Kab. = 20 %
Ini secara teoretis. Yang akhirnya masuk ke sekolah berapa persen? Tinggal sisanya setelah sebagian menjadi “hilang”.
Enambelas
Bagi SBI swasta, biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat dan yayasan pendiri sekolah tersebut. Subsidi pemerintah dapat diberikan atas dasar persyaratan tertentu.
Sekolah swasta akan menerima uang pajak kita? Jadi kalau saya seorang sopir mikrolet, termasuk kaum yang tidak mampu, uang pajak saya diambil dan diberikan pada sebuah sekolah swasta biar anak orang kaya bisa mendapatkan fasilitas yang lebih baik lagi? Dan di SDN anak saya, atap yang hampir runtuh dibiarkan saja. Hanya SBI dan SBI Swasta yang diperhatikan? Lebih baik saya tidak membayar pajak daripada uang saya diberikan ke sekolah swasta!
KESIMPULAN
Rencana Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini adalah sebuah rencana yang kelihatannya dibuat sepihak saja, tanpa konsultasi, tanpa berfikir terlalu dalam tentang dampaknya, sebuah rencana yang tidak relevan, tidak dibutuhkan, tidak adil, and hanya menguntungkan sebagian anak (minoritas) dan mengabaikan yang lain (mayoritas), tetapi menggunakan uang pajak kita.
(Saya jadi ingat Busway dari Gubunur Sutiyoso yang dibuat secara buru-buru dengan ciri-ciri perencanaan yang sama, dan sekarang terancam berhenti karena bankrut!)
Saya melihat ada banyak kesempatan untuk orang yang telah “menghilangkan” 4,6 TRILLION rupiah dari anggaran pendidikan tahun 2006 untuk membuat macam-macam proyek baru dengan segala bentuk “mark-up” dan komisi yang akan menguntungkan mereka. Akan ada proyek beli laptop, proyek renovasi gedung sekolah, proyek beli buku, proyek beli perlengkapan belajar (meja, kursi, dll.), proyek melatihkan guru, proyek kesejahteraan guru, proyek asuransi, dan banyak proyek baru yang lain. Apakah semuanya akan dijalankan dengan cara yang benar dan terbuka?
Apakah rencana SBI ini akan membuat sebuah kaum elit, yang terdiri dari anak yang mendapat kesempatan masuk SBI, menjadi sukses dan menjadi orang yang paling kaya dan berkuasa di negara ini? Dan semua itu dikerjakan dengan uang pajak kita? Anak anda belum tentu diterima. Dan setelah dia lulus dari sekolah biasa dengan nilai biasa, dia akan mencari pekerjaan dan langsung bersaing dengan anak tetangga anda yang dibuat lebih pintar oleh pemerintah karena dia diterima di SBI. Pada saat para employer melihat anak dari sekolah biasa dan anak dari SBI melamar untuk pekerjaan yang sama, kira-kira yang mana yang akan diterima?
Uang pajak anda menciptakan masa depan dan kemungkinan besar akan sukses bagi anak orang lain, sedangkan anak anda dibiarkan saja menderita dalam sekolah negeri biasa dengan atap kelas yang hampir ambruk.
Kemudian, apakah anak ini yang lulus dari SBI menjadi mirip sekali dengan orang barat? Apakah mereka akan lebih senang berbincang dalam bahasa Inggris dan meremehkan atau anggap bodoh orang yang tidak bisa berbahasa Inggris (seperti neneknya)? Apakah mereka akan sanggup kuliah dalam bahasa Indonesia?
Apakah anak SBI ini menjadi mirip dengan orang barat? Apakah mereka akan tinggalkan nilai-nilai agama dan budaya yang diajarkan orang tua dan menggantikannya dengan nilai-nilai “universal” yang didapatkan di sekolah (yang telah direstui Unesco dll.)? Kira-kira berapa banyak dari anak ini akan murtad atau pindah agama? Apakah tidak perlu dipikirkan? Apakah tidak perlu kuatir? Siapa yang melakukan analisa terhadap masa depan anak ini? Dan siapa yang akan melindungi mereka dari kerusakan budaya negara barat yang sekuler?
Singkatnya, rencana SBI ini adalah sebuah rencana yang sudah mengandung unsur-unsur yang bisa merusak agama dan budaya anak bangsa ini, dan membelah anak bangsa menjadi kaum elit dan kaum biasa.
Apakah ini yang dinginkan orang tua?
Pajak anda yang akan digunakan!
Semoga bermanfaat,
Senin, 03 Agustus 2009
DUNIA PENUH BEBAN (RUMMI)
Apabila sampah memenuhi tong, bersihkan!Janganlah lumpur itu dibuat kewruh setiap kali,Agar air kolammu jernih dan sampah mudah dibuang dan dukamu sembuh.
Demikian roh, bagaikan obor, asapnya lebih tebal dibanding cahayanya.Apabila gumpalan asap lenyap, cahaya dalam rumah tak akan dipermainkan lagi.Kau sentiasa bercermin ke dalam air keruh,Kerana itu bukan bulan ataupun matahari kau lihatApabila kegelapan menutup langit, matahari dan bulan tak nampak.Angin utara bertiup, udara segar.
Untuk membawa udara segar angin sepoi bertiup pada waktu subuh.Angin roh bertiup membuat segar dada yang sesak disebabkan derita.Nafas ringan terhela dan jiwa rasa hampa.
Di bumi roh ialah pengembara asing, negeri tanpa ruang itulah yang ia rindukan,Mengapa nafsu amarah sentiasa gelisah?Roh suci, berapa lamakah kau akan mengembara di bumi?Kau elang raja, terbanglah kembali kepada siul Baginda!
Kamis, 30 Juli 2009
PUISI CINTA JALALUDDIN RUMMI
PUISI CINTA KAHLIL GIBRAN
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..." (Kahlil Gibran)
PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 dilaksanakan untuk meningkatkan
taraf pendidikan penduduk Indonesia. Namun demikian sampai saat ini tingkat pendidikan penduduk relatif masih
rendah. Sampai dengan tahun 2003 rata- rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai
7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP)
keatas masih sekitar 36,2 persen. Sementara itu angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas masih
sebesar 10,12 persen (SUSENAS 2003). Kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global
dan belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based
economy). SUSENAS 2003 menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang
bersekolah menurut kelompok usia sekolah – untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4
persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai
81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 51,0 persen. Data tersebut mengindikasikan
bahwa masih terdapat sekitar 19,0 persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49,0 persen anak usia 16-18 tahun
yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya teratasi dalam pembangunan pendidikan. Penurunan
penduduk usia muda terutama kelompok usia 7-12 tahun sebagai dampak positif program Keluarga Berencana
menyebabkan turunnya jumlah siswa yang bersekolah pada jenjang SD/MI dari tahun ke tahun. Pada saat yang
sama terjadi pula perubahan struktur usia siswa SD/MI dengan semakin menurunnya siswa berusia lebih dari 12
tahun dan meningkatnya siswa berusia kurang dari 7 tahun. Hal tersebut terus dipertimbangkan dalam
menyediakan fasilitas pelayanan pendidikan sehingga efisiensi dapat terus ditingkatkan. Pada saat yang sama
terjadi peningkatan proporsi penduduk usia dewasa yang berdampak pada perlunya untuk terus mengembangkan
penyediaan layanan pendidikan sepanjang hayat melalui pendidikan non formal untuk memberi pelayanan
pendidikan sesuai kebutuhan mereka.
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat seperti antara
penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di
perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Data SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi (75,7%)
Dinas Pendidikan Semarang
http://www.disdik-kotasmg.org/v8 Dibuat dengan Joomla! Dihasilkan pada: 27 July, 2009, 15:27
merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki
biaya sekolah (67,0
persen) maupun karena harus bekerja (8,7 persen). Hal tersebut berdampak pada tingginya kesenjangan
partisipasi pendidikan antara penduduk miskin dengan penduduk kaya. Pada tahun 2003, pada saat APS
penduduk 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93,98 persen, APS kelompok 20 persen
termiskin baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun
dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut- turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen. Pada saat
yang sama partisipasi pendidikan penduduk perdesaan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan. Rata-rata
APS penduduk perdesaan usia 13- 15 tahun pada tahun 2003 adalah sebesar 75,6 persen sementara APS
penduduk perkotaan untuk kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 persen. Kesenjangan yang lebih nyata
terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun yaitu dengan APS penduduk perkotaan sebesar 66,7 persen dan APS
penduduk perdesaan sebesar 38,9 persen atau hanya separuh APS penduduk perkotaan.
Masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan
atau sebanding dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu pendidikan belum menjadi pilihan investasi.
Meskipun SPP telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus
membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain di luar iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, seragam,
uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan
anaknya. Beban masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi lebih berat apabila anak mereka turut
bekerja membantu orangtua. Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah
pertama dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah perdesaan,
terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan untuk
mengakses layanan pendidikan. Selain itu, fasilitas dan layanan
pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal
tersebut terutama disebabkan oleh (1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun
kualitas, (2) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan
(4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Hasil survei pendidikan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menunjukkan bahwa belum
semua pendidik memiliki kualifikasi pendidikan seperti yang disyaratkan. Proporsi guru sekolah dasar (SD)
termasuk sekolah dasar luar biasa (SDLB) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang berpendidikan Diploma-2 keatas
adalah 61,4 persen dan proporsi guru sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang
berpendidikan Diploma-3 keatas sebesar 75,1 persen. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi untuk menyediakan
pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan pendidikan menengah yang
mencakup sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah (MA) yang
menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan
dengan latar belakang pendidikan guru. Di samping itu kesejahteraan pendidik baik secara finansial maupun non
finansial dinilai masih rendah pula. Hal tersebut berdampak pula pada terbatasnya SDM terbaik yang memilih
berkarir sebagai pendidik.
Pada tahun 2004 sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak
ringan dan rusak berat. Hal tersebut selain berpengaruh pada ketidaklayakan dan ketidaknyamanan proses belajar
mengajar juga berdampak pada keengganan orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah
tersebut. Pada saat yang sama masih banyak pula peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran.
Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain semakin memberatkan orangtua
juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa.
Sejak dilaksanakannya desentralisasi pada tahun 2001, biaya operasional sekolah terutama sekolah negeri yang
semula dialokasikan melalui belanja rutin pemerintah pusat telah dialokasikan langsung ke daerah sebagai bagian
dari Dana Alokasi Umum (DAU). Namun demikian sampai dengan tahun ajaran 2004/2005 masih terdapat
sebagian kabupaten/kota yang tidak mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional sekolah dan sebagian
besar lainnya mengalokasikan dalam jumlah yang belum memadai.
Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan lulusan. Lulusan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding
menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan
dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan
hasilnya masih sangat terbatas. Disamping itu proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami
hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal
internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang
belum memadai, belum banyak hasil penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan
Dinas
Hari Kemerdekaan
1. Bertentangan dengan pandangan pedagogik. Pada dasarnya manusia memiliki minat dan bakat yang berbeda. Sehingga sangat sulit untuk mendidik siswa dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Ini terbukti siswa yang konsen dalam satu bidang bayak yang tidak berhasil lulus dalam ujian nasional, misal kita melihat siswa yang menjuarai olimpiade Fisika tidaklulus ujian nasional. kalaupun kita dapat membuat siswa unggul dalam semua bidang, kita tidak mendapatkan orang dengan spesialisasi tertentu, yang kita hasilkan adalah orang dengan kemampuan general, dan sulit untuk menciptakan para ahli, sehingga hasilnya adalah orang yang hanya pintar berbicara. Tentunya kondisi ini membuat bangsa kita sulit bersaing dalam bidang yang membutuhkan spesifikasi sejak dini.
2. Menghancurkan sendi-sendi moral. Kita mengetahui begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan angka kelulusan. Mulai dari orang tua, guru mata pelajaran, Kepala sekolah, Kepala Dinas dan para pejabat yang berada diatasnya sehingga terlihat para stake holder dunia pendidikan ini menutup mata akan kecurangan yang terjadi pada ujian nasinal. Lembaga bimbingan belajarpun turut berkepentingan, siswa akan memilih lembaga bimbingan belajar yang mampu memberikan "bocoran Ujian Nasional" . Suasana ujian diklaspun terlihat santai, karena para pengawaspun yang notabene seorang guru juga, walaupun berasal dari sekolah yang berbeda mengerti bahwa siswa harus dibantu agar dapat lulus, minamal membiarkan siswa yang melakukan kecurangan, karena memang mereka sudah dipesan oleh sekolah tuan rumah untuk menganggap siswa sendiri. Kondisi ini tentunya berakibat siswa merasa semua pura-pura dan semua bisa diajak bejerjasama. Banyak siswa sudah tidak belajar lagi menjelang ujian nasional karena mereka percaya pada saatnya akan ada "pertolongan". Kenapa pemerintah menutup mata dengan kondisi ini.
BAnayak alasan lain,