Senin, 09 November 2009

UN Masa Depan

Dalam menghadapi ujian nasional, sesungguhnya adalah lebih bijaksana jika pelajarlah yang dipersiapkan sebelumnya.
Makin tinggi: Hasil UN harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikanBerbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan ujian nasional (UN) Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat 20-24 April lalu dilaksanakan di tengah riuhnya perpolitikan negara dalam rangka penghitungan suara pasca-pemilu legislatif 9 April 2009. Sementara UN tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah dasar (SD) sederajat diselenggarakan Mei 2009, di tengah suhu politik yang sedang memanas menjelang pemilihan presiden 8 Juli 2009.

Tapi di tengah susana demikian, polemik atas kebijakan UN ini masih tetap terjadi antara pihak yang pro dan kontra. UN memang sangat vital buat pelajar maupun sekolah. Kelulusan UN merupakan salah satu penentu masa depan pelajar. Sementara bagi sekolah, persentase kelulusan siswa merupakan tolok ukur keberhasilan sekolah tersebut dalam mendidik. Dengan motivasi itu, pelaksanaan UN tahun ini juga masih tetap diwarnai beberapa kecurangan seperti kebocoran soal. Tidak jauh seperti tahun sebelumnya, rata-rata kecurangan tersebut dilakukan secara kolektif dan terencana. Sekadar contoh, di Kabupaten Bengkulu Selatan, 16 orang kepala sekolah diberitakan diperiksa kepolisian karena terlibat dalam kasus kecurangan.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, UN sudah diselenggarakan. Tentu tidak bijaksana jika berlarut-larut dalam polemik setuju atau tidak setuju dan jujur atau tidak jujur. Membicarakan UN sekarang ini adalah lebih baik membicarakan bagaimana membuat UN tahun ini sebagai pembelajaran untuk menghadapi ujian tahun depan.

Seperti diketahui, sejak diberlakukannya UN, grafik standar kelulusan ada perubahan walaupun berfluktuatif setiap tahunnya. Dimana standar kelulusan pada tahun 2002 (3,01 ), 2003 (3,01), 2004 (4,01), 2005 (4,01), 2006 (4,50), 2007 (5,00), 2008 (5,25), dan tahun 2009 sebesar 5,50. Khusus untuk tahun ini, standar ini mengartikan bahwa hasil UN harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Sedangkan untuk SMK, nilai uji kompetensi keahlian minimum 7,00 dengan nilai teori kejuruan minimum 5. Nilai uji kompetensi keahlian digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN.

Tujuan menaikkan standar kelulusan itu setiap tahunnya, yakni untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, sejauh ini masih mendapat pembenaran. Terbukti, seperti dikatakan Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas Burhanudin Tolla pertengahan April lalu, langkah peningkatan standar kelulusan UN ini berdasarkan hasil evaluasi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 2004 rata-rata nilai UN hanya 5,5. Namun pada 2008 lalu hasilnya meningkat drastis menjadi 7,3. “Jadi terbukti bahwa UN mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Semangat guru mengajar juga meningkat,’’ katanya.

Memperhatikan fluktuasi perubahan standar kelulusan yang terus dinaikkan setiap tahun itu, diyakini, seperti yang memang sudah pernah diwacanakan pejabat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebelumnya, tahun depan juga diperkirakan standar kelulusan akan terus dinaikkan hingga mendekati standar kelulusan seperti yang berlaku di dunia internaional. Oleh karena itu, ke depan, sesungguhnya adalah lebih bijaksana jika pelajarlah yang dipersiapkan mengikuti ujian sehingga mereka berhasil melewati batas kelulusan minimal yang ditetapkan Depdiknas, sebagai langkah awal untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.

Namun di luar polemik setuju atau tidak setuju, pendapat yang mengusulkan agar UN dibuat sebagai salah satu metode evaluasi pembelajaran di samping metode pembelajaran yang lain, kiranya perlu dipertimbangkan dan diskusi lebih lanjut. Sebagaimana pendapat pengamat pendidikan Arif Rachman, hak guru dan sekolah untuk mengevaluasi dan menentukan kelulusan siswa hendaknya tetap diberikan. Satu contoh, jika ada siswa memperoleh nilai kurang nol koma sekian dari standar kelulusan UN, padahal selama tiga tahun siswa itu berprestasi baik, guru atau sekolah sebaiknya punya hak meluluskannya.

Di samping topik tersebut, wacana membuat hasil UN SMA sederajat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri juga perlu didiskusikan lebih lanjut Sebab menurut pendapat beberapa pihak, jika hal itu dilaksanakan, berarti ada kerancuan berpikir tentang makna evaluasi. Sebab, seleksi masuk perguruan tinggi memiliki maksud dan tujuan yang berbeda dengan UN.

UN merupakan tes untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran, sementara tes masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi merupakan tes untuk mengukur kemampuan calon menjalani proses pendidikan. Jadi usaha untuk menggabungkan keduanya dianggap tidak lagi berangkat dari makna dan jati diri tes, tetapi bagian dari upaya pemenangan perang atas nama kekuasaan. Lebih lanjut disebutkan, mempertemukan kedua tes dalam satu paket akan mengabaikan karakter dan prisip pendidikan yang selama ini berfokus pada anak didik sebagai objek.Semoga dengan pelaksanaan UN tahun ini, kita semakin bijaksana dan anak didik semakin giat belajar. RB (Berita Indonesia 66)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar