Kamis, 24 Maret 2011

PENDIDIKAN KARAKTER




Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.



Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.



Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.



Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
Sumber: Kompas Cyber Media

Selasa, 22 Maret 2011

MEMBANGUN SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS KEBUDAYAAN



Persoalan pendidikan tetap akan menarik untuk diperbincangkan dan akan menjadi sorotan publik yang selalu aktual. Apalagi, sistem pendidikan kita yang acapkali mengalami perubahan setiap tahun, walau pada kenyataannya masih saja menampakkan bahwa pendidikan kita jauh dari cita-cita yang kita inginkan. Ditambah lagi, dalam perjalanannya, pendidikan kita terseok-seok seperti negeri yang baru merdeka. Bahkan yang lebih memprihatinkan, hasil kajian-kajian menunjukan bahwa kwalitas pendidikan masyarakat, terutama di kepulauan Madura, amat jauh berada dilevel bawah dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Melemahnya kwalitas pendidikan masyarakat Madura disini tidak terlepas dari pengaruh sistem pendidikan nasional yang selama ini kita kembangkan, di mana, sistem pendidikan nasioal jauh dari akar budaya dan jauh lingkungan anak didik. Pada gilirannya, anak didik sebagai generasi yang diharapkan menjadi suri tauladan didaerahnya, terasing dari lingkungan masyarakatnya sendiri. Pendidikan yang tidak berlandaskan kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Anak didik pandai di negeri orang, tetapi bodoh di negeri sendiri.

Realitas tersebut merupakan implikasi dari perubahan sistem pendidikan kita yang hanya mengandalkan pada silabus yang mengarah pada satu sistem pendidikan dan tidak berlandaskan pada kebudayaan, dan hal itu akan menghasilkan anak didik yang mikanik seperti mesin serta manusia-manusia yang orentasi pemikirannya pada kerja, bukan pengetahuan. Dengan kata lain, sistem pendidikan kita memberi kesan bahwa kesuksesan sebuah proses pendidikan hanya terletak pada satu instrumen teknis-operasional yakni kurikulum. Lembaga pendidikan yang tidak mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan oleh pusat (mendiknas) maka proses pendidikan yang dijalankan akan mengalami kegagalan. Sehingga masyarakat Madura yang beragam dan agamis serta lebih mengedepankan nilai-nilai kebudayaan disulap menjadi masyarakat yang lupa pada akar budayanya. Tak jarang orang Madura yang tidak tahu bahasa Madura. Tidak sedikit putra-putri Madura yang tidak mengerti kebudayaan Madura. Bahkan ada yang merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri.

Selain sistem pendidikan tersebut menghasilkan anak didik yang melupakan kebudayaannya sendiri, yang lebih parah, justru anak didik cendrung bersikap individualis. Nilai-nilai budaya yang mengandung semangat kebersamaan sesuai dengan substansi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa secara menyeluruh berubah haluan menjadi manusia yang berorentasi kerja. Bersekolah dan berkuliah hanya untuk mendapatkan pekerjaan, bukan menjadi manusia terdidik yang cerdas secara intelektual, emosional dan spritual.

Dari itu, sistem pendidikan yang hanya bergantung pada satu instrumen tersebut, atau lebih tepatnya disebut dengan sistem pendidikan individual itu, tidak akan mampu mencerdaskan dan mengangkat derajat masyarakat Madura khususnya dan bangsa secara menyeluruh. Hal tersebut, yang menjadi faktor utama adalah karean sistem pendidikan yang dihasilkan selama ini hanya berangkat dari konsep segelintir orang yang cendrung meniru pola pikir dari barat bukan dari hasil pengamatan dan penelitian terhada budaya, terutama di Madura.

Model Pendidikan Berbasis Kebudayaan

Berlandaskan uraian yang dihasilkan dari pengamatan dan kajian-kajian di muka, sudah semestinya kita memiliki trobosan-trobosan pemikiran strategis yang lebih mengedapankan nilai-nilai kebudayaan. Memang, model yang akan kita laksanakan akan tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional dalam aspek pengembangannya, namun tetap mengoptimalkan dan menghargai ruang-ruang kebersamaan seperti belajar kelompok sehingga kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat dimiliki bersama-sama serta anak didik pun tidak hanya memiliki kemampuan kognitif belaka yang mengarahkan pada sikap individualis.

Dengan lain kata, meskipun mencontoh sistem pendidikan nasional, akan tetapi direalisasikan dengan kreativitas yang tidak sama, sebab ekplorasi yang dikembangkan yaitu belajar bersama dan menjadi guru secara besama-sama sehingga ada taken for grantede diantara mereka. Hal ini akan menggugah peserta didik untuk terus belajar dan saling mengisi serta akan dapat menghilangkan kecendurungan putus asa (frustasi) yang sering kali terjadi pada anak didik, terutama, yang belum dewasa.

Sistem ini, tentu saja tidak mengharuskan merubah secara total terhadap kurikulum yang telah dikembangkan selama ini. Sebab titik masalahnya bukan terletak pada kesalahan kurikulum nasional yang dibuat oleh segelintir orang, akan tetapi hilangnya akar kebudayaan seperti nilai-nilai kebersamaan yang natural dalam belajar serta pengarahan pada satu instrumen oprasional yang menggiring peserta didik pada sikap individualis.

Dari itulah, sudah saatnya budaya-budaya lokal dihargai, ditata ulang, dicairkan, dan dirajut kembali. Hanya dengan berlandaskan mekanisme dan trobosan-trobosan tersebut yang bisa mendorong peserta didik pada prilaku kolektif sesuai dengan cita-cita substansial pendidikan. Pada capaian berikutnya, dialektika tersebut dapat mengantarkan peserta didik berbenah diri dan meningkatkan sumber daya manusianya.

Tanpa mengoptimalkan pendidikan yang berbasis kebudayaan tersebut, anak didik kita akan kehilangan rasa sosialnya dan akan terus semakin jauh dari masyarakatnya sendiri. Dan penataan ulang terhadap sistem pendidikan yang lebih mengarah pada budaya tersebut membutuhkan sumbangan pemikiran dari semua pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan.

Tulisan ini pernah dipublikasikan pernah

di publikasikan di Radar Madura (Jawa Pos Group)