Kamis, 03 September 2009

KETERTINGGALAN PENDIDIKAN DUNIA ISLAM


Mengapa dunia muslim tertinggal pendidikannya? Jawabannya: FILSAFAT! Ya, karena dunia muslim pada umumnya menabukan filsafat, induknya ilmu pengetahuan. Lebih-lebih setelah aliran Wahhabi, yang secara teologis antirasionalisme ini, me-mainstream sebagai model Islam di dunia.

Riset-riset mutakhir barat saat ini tak terlepas dari jasa positivisme August Comte, yang memadukan filsafat rasionalisme cartesian dengan filsafat empirisme. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan riset, 5w1h questions, merupakan salah satu bagian pertanyaan-pertanyaan mendasar dari filsafat logika. Belum lagi jika kita bicara soal cabang-cabang ilmu yang lain, seperti psikologi, sosiologi, ilmu politik, hukum dll, semua pasti beralaskan filsafat.

Jangankan itu, mari kita lihat dari kacamata geopolitik. Ideologi yang berkembang di dunia ini berakar kuat pada filsafat. Ideologi kapitalisme, misalnya, dipengaruhi oleh Filsafat Kebebasan Manusia ala John Locke. Sementara Komunisme diawali dari Filsafat Materialisme Dialektika.

Apakah sejarah peradaban Islam tidak pernah (mau) mengenal filsafat? Nay! Zaman keemasan Islam dulu tak terlepas dari peran filsafat dalam meletakkan basis keilmuwan. Sebut saja Ibu Sina (dokter, ahli kimia, geologis, ahli astronomi, dll), Al-Farabi (ahli matematika, musisi, sosiolog, dll) dan Al-Kindi (ahli matematika, psikologi, dokter, musisi) yang juga filsuf. Saking pentingnya filsafat, sampai-sampai Ibnu Thufail asal Andalusia menulis novel “Hayy ibn Yaqdzan, yang menekankan pentingnya akal untuk “mencari” Tuhan.

Tapi kita tak perlu berkecil hati soal ini. Di belahan Islam lain, ada sekelompok “minoritas kreatif” yang tradisi filsafatnya juga kuat. Ya, dialah Iran. Sebut saja di antaranya Mulla Shadra, Murtadha Muthahhari, Muhammad Baqr ash-Shadr, bahkan sang revolusionis Ayatullah Khomeini (bahkan termasuk Ibnu Sina!). Karena filsafatnya kuat, maka tradisi keilmuannya pun juga maju. Dengan demikian, tak heran jika pendidikan di Iran juga mulai berkembang pesat.

Kuatnya tradisi keilmuan dan berkualitas karya-karya di sana, sampai-sampai membuat barat dan orientalis tertarik untuk mempelajarinya. Sepasang suami istri William Chittick dan Sachiko Murata, misalnya, termasuk di antaranya yang tertarik mempelajari filsafat di Negeri Mullah ini.

Soal fasilitas pendidikan bagaimana? Di Iran, anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu diberikan fasilitas pendidikan, antara lain bebas biaya SPP dan printil-printil lainnya serta diberikan buku-buku gratis. Walhasil, anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke bawah justru yang rata-rata berprestasi.

Bagaimana dengan tradisi pengajaran di sana? Mari kita tengok ke salah satu “pesantren tradisional” bernama Hauzah ‘Ilmiyyah al-Moqaddesah di kota Qom. “Yang paling berkesan belajar di Iran adalah perilaku ulama-ulama yang ada di Qom, yang begitu baik menghargai pelajar-pelajar. Tidak merasa lebih tinggi atau pintar. Mereka benar-benar memahami Islam dengan baik dari perilakunya,” kata Musa Kadzim Siraj, alumnus Hauzah asal Madura ini.

Bagaimana soal infrastrukturnya? Di ibukota Iran, Tehran, ada perpustakaan dengan koleksi buku terbanyak di dunia, yaitu berjumlah lebih dari 9 juta buku. Saking berharganya ilmu pengetahuan bagi mereka, sampai-sampai rak-rak bukunya bisa masuk ke dalam bunker secara otomatis jika terjadi sesuatu. Ya, belajar dari zaman kemunduran Islam dulu, ketika karya-karya besar ilmuwan muslim dibakar. Lagi, beberapa hari yang lalu, Iran juga mengirimkan Satelit Omid, serta sesumbar akan mengirimkan astronot pada 2021.

Kemajuan pendidikan tak terlepas dari tradisi keilmuan yang baik. Sementara tradisi keilmuan yang baik sangat bergantung pada filsafat. Jadi, kenapa kita tidak mulai berfilsafat?***(DOONUKUNEKE)

1 komentar:

  1. Imam Gozali pernah melarang berfilsafat karena takut ummat islam tersesat.

    BalasHapus