Kamis, 30 Juli 2009

PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA

Tingkat Pendidikan Penduduk Relatif Masih Rendah. Berbagai upaya pembangunan pendidikan termasuk Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 dilaksanakan untuk meningkatkan
taraf pendidikan penduduk Indonesia. Namun demikian sampai saat ini tingkat pendidikan penduduk relatif masih
rendah. Sampai dengan tahun 2003 rata- rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai
7,1 tahun dan proporsi penduduk berusia 10 tahun keatas yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP)
keatas masih sekitar 36,2 persen. Sementara itu angka buta aksara penduduk usia 15 tahun keatas masih
sebesar 10,12 persen (SUSENAS 2003). Kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global
dan belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based
economy). SUSENAS 2003 menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio penduduk yang
bersekolah menurut kelompok usia sekolah – untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4
persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai
81,0 persen, dan APS penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 51,0 persen. Data tersebut mengindikasikan
bahwa masih terdapat sekitar 19,0 persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49,0 persen anak usia 16-18 tahun
yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya teratasi dalam pembangunan pendidikan. Penurunan
penduduk usia muda terutama kelompok usia 7-12 tahun sebagai dampak positif program Keluarga Berencana
menyebabkan turunnya jumlah siswa yang bersekolah pada jenjang SD/MI dari tahun ke tahun. Pada saat yang
sama terjadi pula perubahan struktur usia siswa SD/MI dengan semakin menurunnya siswa berusia lebih dari 12
tahun dan meningkatnya siswa berusia kurang dari 7 tahun. Hal tersebut terus dipertimbangkan dalam
menyediakan fasilitas pelayanan pendidikan sehingga efisiensi dapat terus ditingkatkan. Pada saat yang sama
terjadi peningkatan proporsi penduduk usia dewasa yang berdampak pada perlunya untuk terus mengembangkan
penyediaan layanan pendidikan sepanjang hayat melalui pendidikan non formal untuk memberi pelayanan
pendidikan sesuai kebutuhan mereka.
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat seperti antara
penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di
perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Data SUSENAS 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi (75,7%)
Dinas Pendidikan Semarang
http://www.disdik-kotasmg.org/v8 Dibuat dengan Joomla! Dihasilkan pada: 27 July, 2009, 15:27
merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki
biaya sekolah (67,0
persen) maupun karena harus bekerja (8,7 persen). Hal tersebut berdampak pada tingginya kesenjangan
partisipasi pendidikan antara penduduk miskin dengan penduduk kaya. Pada tahun 2003, pada saat APS
penduduk 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93,98 persen, APS kelompok 20 persen
termiskin baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun
dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut- turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen. Pada saat
yang sama partisipasi pendidikan penduduk perdesaan lebih rendah dibanding penduduk perkotaan. Rata-rata
APS penduduk perdesaan usia 13- 15 tahun pada tahun 2003 adalah sebesar 75,6 persen sementara APS
penduduk perkotaan untuk kelompok usia yang sama sudah mencapai 89,3 persen. Kesenjangan yang lebih nyata
terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun yaitu dengan APS penduduk perkotaan sebesar 66,7 persen dan APS
penduduk perdesaan sebesar 38,9 persen atau hanya separuh APS penduduk perkotaan.
Masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan
atau sebanding dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu pendidikan belum menjadi pilihan investasi.
Meskipun SPP telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus
membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain di luar iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, seragam,
uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan
anaknya. Beban masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi lebih berat apabila anak mereka turut
bekerja membantu orangtua. Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah
pertama dan yang lebih tinggi belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah perdesaan,
terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan untuk
mengakses layanan pendidikan. Selain itu, fasilitas dan layanan
pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga belum tersedia secara memadai.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal
tersebut terutama disebabkan oleh (1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara kuantitas maupun
kualitas, (2) kesejahteraan pendidik yang masih rendah, (3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan
(4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Hasil survei pendidikan yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menunjukkan bahwa belum
semua pendidik memiliki kualifikasi pendidikan seperti yang disyaratkan. Proporsi guru sekolah dasar (SD)
termasuk sekolah dasar luar biasa (SDLB) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang berpendidikan Diploma-2 keatas
adalah 61,4 persen dan proporsi guru sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang
berpendidikan Diploma-3 keatas sebesar 75,1 persen. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi untuk menyediakan
pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan pendidikan menengah yang
mencakup sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah (MA) yang
menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan
dengan latar belakang pendidikan guru. Di samping itu kesejahteraan pendidik baik secara finansial maupun non
finansial dinilai masih rendah pula. Hal tersebut berdampak pula pada terbatasnya SDM terbaik yang memilih
berkarir sebagai pendidik.
Pada tahun 2004 sekitar 57,2 persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak
ringan dan rusak berat. Hal tersebut selain berpengaruh pada ketidaklayakan dan ketidaknyamanan proses belajar
mengajar juga berdampak pada keengganan orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah
tersebut. Pada saat yang sama masih banyak pula peserta didik yang tidak memiliki buku pelajaran.
Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru selain semakin memberatkan orangtua
juga menyebabkan inefisiensi karena buku-buku yang dimiliki sekolah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh siswa.
Sejak dilaksanakannya desentralisasi pada tahun 2001, biaya operasional sekolah terutama sekolah negeri yang
semula dialokasikan melalui belanja rutin pemerintah pusat telah dialokasikan langsung ke daerah sebagai bagian
dari Dana Alokasi Umum (DAU). Namun demikian sampai dengan tahun ajaran 2004/2005 masih terdapat
sebagian kabupaten/kota yang tidak mengalokasikan anggaran untuk biaya operasional sekolah dan sebagian
besar lainnya mengalokasikan dalam jumlah yang belum memadai.
Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan lulusan. Lulusan
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding
menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan
dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan
hasilnya masih sangat terbatas. Disamping itu proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami
hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal
internasional yang dapat diakses. Dengan kualitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang
belum memadai, belum banyak hasil penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oleh masyarakat dan
Dinas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar