Selasa, 04 Agustus 2009

Sekolah Bertaraf Internasional, untuk Apa dan Siapa?


Persaingan global yang semakin mencuat dekade ini membuat pemerintah sedikit melakukan langkah yang dapat dikatakan tergesa-gesa. Bidang pendidikan kita yang condong pada pembelajaran multikultur membuat beberapa langkah pengupayaan kemajuan pendidikan sedikit kurang mengarah.Indonesia dengan keberagaman sisi ekonomi, sosial, serta budaya memang perlu membuat langkah jitu dalam hal pendidikan, tidak serta merta langsung mengarah pada dominasi luar negeri. Pemandangan pendidikan luar negeri memang sudah sangat maju, yang perlu digaris bawah adalah kemajuan itu dilakukan dengan bertahap hingga mendapatkan finishing yang gemilang. Australia, Inggris, Amerika, dan beberapa Negara di Asia memiliki standar pendidikan maju, beberapa alasan diantaranya adalah Negara tersebut aktif dalam menciptakan globalisasi seperti pertumbuhan ekonomi, penguasaan Iptek, dan penerapan aspek linguistic yang condong menerapkan bahasa dunia (bahasa inggris) sebagai media penyampaian pesan. Munculnya Sekolah Bertaraf International (SBI) di Indonesia dianggap sebagai langkah maju tumbuhnya perkembangan pendidikan setara luar negeri atau Internasional. Pengembangan SBI sendiri didasarkan pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat 3 yang secara garis besar ketentuan ini berisi bahwa pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan bertaraf internasional. Visi SBi sendiri yakni mewujudkan insane Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Y.M.E, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Dengan adanya dasar dan visi pengembangan SBI tersebut pemerintah terus berusaha menyertakan ratusan SMP dan SMA seluruh Kabupaten/Kotamadya di Indonesia dengan memberikan sokongan dana ratusan milyar rupiah.Pembentukan SBI sendiri harus mengacu pada standar perumusan SBI yakni SBI = SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan dan X adalah penguatan untuk berdirinya SBI seperti sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO. SNP sendiri memiliki 8 kompetensi yakni lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarpras, dana, pengelolaan dan penilaian.Dari ketentuan tersebut masyarakat dapat mengamati terutama sisi ekonomi tentang biaya yang dikeluarkan untuk memberhasilkan SBI di Indonesia. Teknis SBI sendiri masih terlihat gamblang salah satunya adalah penerapan pembelajaran model bilingual/menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pada system ini pendidik diwajibkan untuk menggunakan bahasa Inggris dalam melakukan proses PBM, tentunya pendidik untuk SBI harus memiliki kompetensi tinggi dalam menerapkan bahasa inggris pasif/aktif.Kompetensi ini memiliki standar khusus antara lain nilai TOEFL > 500, padahal seseorang yang nilai TOEFL nya > 500 tidak tentu bisa menerapkan bahasa Inggris dalam memberikan pemahaman bidang pelajaran pada siswa. Penerapan bahasa inggris dalam SBI adalah tahun pertama guru menggunakan sekitar 75% bahasa Indonesia 25% bahasa Inggris, tahun kedua 50% bahasa Indonesia 50% bahasa Inggris, dan tahun ke tiga 75% bahasa Inggris 25% bahasa Indonesia, dari sini dapat dibayangkan pada tahun ketiga siswa yang tingkat bahasa Inggris nya kurang akan mengalami degradasi prestasi karena sulit mencerna pembicaraan dari guru. SBI sendiri membutuhkan banyak dana dalam pelaksanaannya, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Tercatat, untuk memberhasilkan program ini ada dana tertentu yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat diantaranya Pemerintah pusat 50%, Propinsi 30%, dan Kota/Kab. 20%. Standarisasi prosentasi sendiri masih belum jelas karena tiap-tiap SBI tentunya memiliki besaran dana yang tidak sama, misalnya SBI didaerah Malang akan berbeda dengan SBI di daerah Jakarta. SBI pada sekolah swasta akan berbeda pula besaran dananya, mengingat kucuran dari pemerintah mengalami seleksi khusus, jadi masyarakat yang tertarik dengan nama SBI dan itu pada sekolah swasta akan mengeluarkan dana besar, tentunya permasalahan ini akan kembali lagi pada mampu tidaknya seseorang untuk melanjutkan pendidikan, ironis sekali dengan pencanangan sekolah gratis yang diprogramkan pemerintah akhir-akhir ini. Dalam hal standarisasi output, siswa SBI harusnya lebih memiliki education skill tinggi mengingat proses KBM didalamnya mengunggulkan pada program Sains dan matematik. Beberapa kemungkinan yang timbul juga sangat beragam, output SBI tidak semuanya memahami mata pelajaran yang ada. Dapat kita bayangkan gambaran kekecewaan ketika siswa SBI memiliki output sama dengan siswa regular atau normal. Proses KBM yang menggunakan bilingual konsep akan cenderung memiliki balance yang kurang jika salah satu substansi lemah, seperti siswa kurang bisa mencerna proses dalam bahasa inggris atau terbalik guru yang kurang bisa menerapkan bahasa inggris saat mengajar. Secara konsep, memang siswa SBI dirintis untuk menyamai kurikulum internasional seperti pada Cambridge atau International Baccalaureate (IB), dari sisi ini fungsional ketika siswa SBI sedikit menyamai Cambridge atau IB masih tanda tanya. Output SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya, terutama ketika mereka akan menginjakkan pendidikan di Universitas. Konsep SBI secara tujuan dan visi memang sangat bagus, dimana siswa sudah terlatih untuk berkomunikasi secara global dengan bahasa Inggris. Siswa SBI juga memiliki pengalaman belajar yang sama dengan IB atau Cambridge. Menjamurnya SBI di Indonesia dapat ditakutkan akan menjadi lahan bisnis dalam dunia pendidikan dan kembali lagi masyarakat akan jadi korban. Ada beberapa hal sebenarnya untuk menjadikan pendidikan di Indonesia maju tetapi secara sistematis dan konseptual. Sedikit ilustrasi, nama SBI yang sudah tercanangkan ini dapat diganti dengan program sekolah yang berbasis bilingual. Adanya English club atau pemusatan sekolah dengan melibatkan bahasa inggris akan lebih baik dari SBI. Ini dilihat dari proses SBI yang menekankan pada bahasa Inggris, tapi apakah pemahaman akan mata pelajaran juga meningkat. Hal lain adalah, nama SBI itu sedikit ”menyeramkan” karena masyarakat akan menilai SBI benar-benar seperti sekolah luar negeri, tapi ketika siswa luar negeri dihadapkan pada siswa SBI secara nyata akan terlihat perbedaan yang jauh. Dari sisi itu seharusnya siswa SBI memiliki kemampuan sama dengan siswa luar negeri, karena pemerintah juga berani menggunakan titel bertaraf internasional. Pemunculan SBI mengundang sedikit kontroversi terutama ketika dihadapkan pada multikultural di Indonesia.Titel taraf Internasional memberikan image tersendiri bagi masyarakat. Untuk apa dan siapa SBI ini juga masih menjadi polemik, karena siswa SBI didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, selain itu siswa SBI hanya untuk siswa diatas rata-rata SNP. Output SBI juga masih samar terutama ketika siswa ingin melangkahkan pendidikan lanjutan. Pemerintah memang harus jeli dalam membuat kebijakan pendidikan agar peningkatan pendidikan di Indonesia melonjak, bukan berarti melonjak adalah mengikuti/menyamai luar negeri tapi mendongkrak masyarakat bawah yang sebelumnya awam pendidikan menjadi paham pendidikan. Program SBI sendiri perlu mendapat evaluasi agar fungsional dan untuk siapa SBI dicanangkan menjadi jelas.Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar